Tidak Disangka, Kaleidoskop 2021: Bentuk Satgas BLBI, Kejar Para Pengemplang Utang Tahun 1998
Tahun 2021 menjadi babak baru bagi pemerintah mengejar utang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang bergulir saat krisis moneter tahun 1997-1998.
Utang tersebut berasal dari Bank Indonesia (BI) selaku bank sentral yang diberikan kepada bank-bank alias obligor/debitor penerima dana BLBI. Tujuannya menjaga stabilitas sistem keuangan pada masa krisis moneter yang saat itu menghantam sektor keuangan.
Pemerintah dalam hal ini bertindak sebagai penjamin (blanket guarantee) seluruh bank yang terdampak krisis, dengan menerbitkan Surat Utang Negara (SUN).
Kaleidoskop 2021: Bentuk Satgas BLBI, Kejar Para Pengemplang Utang Tahun 1998
4+
KOMPAS.com: Berita Terpercaya
Baca Berita Terbaru Tanpa Terganggu Banyak Iklan
Dapatkan Aplikasi
Hingga kini, pemerintah masih harus mencicil pokok dan bunga utang kepada bank sentral karena banyak para obligor/debitor tidak membayar kembali uang pinjaman tersebut.
Berdasarkan perhitungan, setidaknya ada 48 obligor dan debitor yang memiliki kewajiban pembayaran utang kepada negara senilai Rp 110,45 triliun.
"Jelas pemerintah menanggung bebannya hingga saat ini," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers Pengamanan Aset Tanah dan Bangunan BLBI, Jumat (27/8/2021).
Beredar daftar obligor prioritas
Untuk mengejar obligor/debitor dengan utang fantastis, pemerintah bahkan sudah menyusun daftar obligor/debitor prioritas yang nantinya akan dikejar Satgas (satuan tugas)
Dokumen Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI tertanggal 15 April 2021 itu merinci tujuh nama. Mereka menjadi prioritas berdasarkan tingkat penagihan, adanya jaminan, hingga perkiraan kemampuan membayar kembali.
Dokumen tertanggal 15 April 2021 itu juga menyebut nama putri mendiang Presiden Soeharto, Siti Hardianti Rukmana alias Tutut Soeharto.
Perusahaan Tutut yang masuk radar Satgas BLBI adalah PT Citra Cs, yang terdiri dari PT Citra Mataram Satriamarga, PT Marga Nurindo Bhakti, dan PT Citra Bhakti Margatama Persada.
Besaran utangnya masing-masing Rp 191,6 miliar, Rp 471,4 miliar, Rp 6,52 juta dollar AS, dan Rp 14,79 miliar. Tercatat tidak ada jaminan aset atas utang tersebut. Jaminan hanya berupa SK Proyek.
Nama obligor selanjutnya adalah Kaharudin Ongko, owner Bank Umum Nasional (BUN) penerima BLBI. Berdasarkan dokumen, pengejaran utang dilakukan lantaran jaminan utang tidak cukup.
Dasar utang yang ditagihkan adalah Master of Refinancing and Notes Issuance Agreement (MRNIA). Berikut ini daftar 7 obligor yang menjadi prioritas Satgas BLBI.
1. Trijono Gondokusumo - Bank Putra Surya Perkasa. Dasar utangnya adalah Akta Pengakuan Utang (APU) dengan outstanding utang sebesar Rp 4,89 triliun. Jaminan utang tersebut ada, akan tetapi tidak cukup.
2. Kaharudin Ongko - Bank Umum Nasional (BUN). Dasar utang yang ditagihkan adalah Master of Refinancing and Notes Issuance Agreement (MRNIA) sebesar Rp 7,83 triliun. Jaminan utang ada, akan tetapi tidak cukup.
3. Sjamsul Nursalim - Bank Dewa Rutji. Dasar utang Laporan Keuangan Bank dan LHP BPK sebesar Rp 470,65 miliar. Tidak ada jaminan yang dikuasai dari utang tersebut, tapi Sjamsul diperkirakan mempunyai kemampuan membayar.
4. Sujanto Gondokusumo - Bank Dharmala. Dasar utang Laporan Keuangan Bank dan LHP BPK sebesar Rp 822,25 miliar. Tidak ada jaminan yang dikuasai dari utang tersebut, tapi Sujanto diperkirakan mempunyai kemampuan membayar.
5. Hindarto Tantular/Anton Tantular - Bank Central Dagang. Dasar utang Laporan Keuangan Bank dan LHP BPK sebesar Rp 1,47 triliun. Tidak ada jaminan yang dikuasai dari utang tersebut, tapi diperkirakan mempunyai kemampuan membayar.
6. Marimutu Sinivasan - Group Texmaco. Dasar utangnya adalah Surat PPA dengan oustanding Rp 31,72 triliun dan 3,91 juta dollar AS. Jaminan utang tersebut ada, akan tetapi tidak cukup.
7. Siti Hardianti Rukmana - PT Citra Cs. Utang masing-masing Rp 191,6 miliar, Rp 471,4 miliar, Rp 6,52 juta dollar AS, dan Rp 14,79 miliar. Jaminan aset atas utang tersebut tidak ada, jaminan hanya berupa SK proyek.
Bentuk Satgas BLBI
Keseriusan pemerintah mengejar obligor/debitor penerima dana BLBI makin terlihat ketika membentuk Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (Satgas BLBI) pada Juni 2021.
Satgas akan bekerja hingga 31 Desember 2023 akan datang untuk mengejar seluruh obligor/debitor, khususnya untuk obligor prioritas. Tugas satgas yakni melakukan penanganan, penyelesaian, dan pemulihan hak negara yang berasal dari dana BLBI secara efektif dan efisien.
Pembentukan Satgas BLBI merupakan amanat langsung dari Presiden RI Joko Widodo melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 6 Tahun 2021 tentang Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.
Usai beberapa kali pertimbangan, Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan, Rionald Silaban ditunjuk sebagai Ketua Satgas BLBI. Pria yang akrab disapa Rio ini lantas melantik Kelompok Kerja (Pokja) dan Sekretariat.
Pokja Satgas BLBI terdiri dari Pokja Data dan Bukti, Pokja Pelacakan, dan Pokja Penagihan dan Litigasi.
Sebanyak 26 orang Satgas Pokja Data dan Bukti terdiri dari perwakilan Kemenkeu, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan Kemenko Polhukam.
Sementara itu, 26 orang Satgas Pokja Pelacakan terdiri dari perwakilan Badan Intelijen Negara (BIN), Kemenkeu, Kementerian ATR/BPN, Kementerian Hukum dan HAM, dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Sedangkan Satgas Pokja Penagihan dan Litigasi terdiri dari 24 orang dengan unsur Kejaksaan RI, Kemenkeu, dan Kemenko Polhukam. Dalam pelaksanaan tugas, Satgas BLBI akan dibantu oleh Sekretariat, yang terdiri dari 1 ketua dan 2 wakil ketua. Sekretariat berkedudukan di Kemenkeu.
Pengejaran satgas bukan hanya fokus di dalam negeri, akan tetapi mengejar hingga ke luar negeri. Apalagi sejak kerusuhan tahun 1998, banyak dari mereka yang melalang buana ke Singapura
Bahkan, anak cucu debitor/obligor terkena imbas dikejar satgas. Sebab kemungkinan besar usaha beberapa obligor/debitor sudah diwariskan kepada keluarganya.
Tak hanya itu, satgas menghentikan seluruh akses keuangan untuk obligor/debitor, melakukan pencekalan ke luar negeri, dan mengancam pidana pada tahapan tertentu.
Mulai panggil obligor/debitor
Tugas satgas dimulai dengan memanggil para obligor/debitor yang tercatat penerima dana BLBI. Dari sini, mulai muncul berbagai drama dan ungkapan dari para pengemplang uang negara tersebut.
Sri Mulyani menyatakan tidak ingin lagi melihat niat baik para debitur dan obligor dalam mengembalikan dana. Dia hanya ingin dana itu segera dibayar karena kasus sudah berlangsung lebih dari 20 tahun.
"Oleh karena itu karena waktunya sudah sangat panjang lebih dari 20 tahun, tentu kita tidak lagi mempertanyakan niat baik atau tidak, tapi mau bayar atau tidak," kata Sri Mulyani.
Nama pertama yang dipanggil adalah putra bungsu presiden Soeharto, Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto. Pemanggilan Tommy diketahui publik usai satgas mengumumkannya lewat Koran Kompas.
Pemanggilan melalui koran itu pertanda Tommy tidak menghadiri panggilan pertama dan panggilan kedua satgas. Jika sudah begitu, satgas akan mengumumkannya melalui koran di pemanggilan ketiga.
Mengutip pengumuman Satgas BLBI yang tayang di Kompas, Selasa (24/8/2021), Tommy dipanggil sebagai pengurus PT Timor Putra Nasional. Bersama Tommy, Ronny Hendrarto Ronowicaksono juga turut dipanggil atas nama pengurus.
Satgas BLBI meminta Tommy dan Ronny untuk menghadap Ketua Pokja Penagihan dan Litigasi Tim B untuk menyelesaikan hak tagih negara dana BLBI berdasarkan penetapan jumlah piutang sebesar Rp 2,6 triliun.
Setelah Tommy, satgas kembali memanggil taipan bernama Kaharudin Ongko. Dipanggilnya Ongko yang masuk sebagai obligor prioritas BLBI telah terbit pada 31 Agustus 2021 di Harian Kompas.
Lewat pengumuman itu, Ketua Harian Satgas BLBI, Rionald Silaban memintanya melunasi utang kepada negara dengan total Rp 8,2 triliun. Rincian utang yang perlu dilunasi adalah Rp 7,8 triliun dalam rangka PKPS Bank Umum Nasional tahun 1998 dan Rp 359,43 miliar dalam rangka Bank Arya Panduarta.
Asal tahu saja, dana BLBI senilai Rp 8,2 triliun itu sempat bermasalah. Kaharudin diketahui mengambil dana secara diam-diam dan mengalirkan ke sejumlah perusahaan afiliasi, mulai dari perusahaan keramik, PT KIA Keramik Mas hingga sekuritas, PT Ongko Sekuritas.
Dana tersebut dia salurkan ketika menjabat sebagai Wakil Presiden Komisaris PT Bank Umum Nasional (BUN). Karena perbuatannya, Kaharudin didakwa atas penggelapan dana pada tahun 2003 dengan pidana penjara 16 tahun. Sayang, dakwaan tersebut gugur dan Kaharudin berakhir bebas.
Dalam pengumuman pemanggilan, Satgas BLBI mencantumkan 3 alamat tempat tinggal Kaharudin. Salah satu alamat yang ditujukan adalah Paterson Hill, Singapura.
Selanjutnya, satgas memanggil 2 obligor owner PT Bank Asia Pacific (Bank Aspac) Setiawan Harjono (Steven Hui) dan Hendrawan Harjono (Xu jing Nan) pada Kamis, (9/9/2021).
Ketua Satgas Rionald Silaban meminta Setiawan Harjono dan Hendrawan Harjono melunasi utang kepada negara dengan total Rp 3,57 triliun dalam rangka PKPS PT Bank Asia Pacific.
Dalam pengumuman tersebut, Setiawan dan Hendrawan masing-masing memiliki dua alamat tempat tinggal, yakni di Indonesia dan di Singapura. Setiawan Harjono beralamat di Peninsula Plaza, North Bridge Road, Singapura. Sementara Hendrawan Harjono di Shenton Way, SGX Centre 2, Singapura.
Panggil Keluarga Bakrie hingga Marimutu Sinivasan
Pemanggilan masih berlanjut. Pihak-pihak yang dipanggil satgas pada 15 September 2021 lebih banyak, yakni 13 orang. Beberapa di antaranya berasal dari keluarga konglomerat Bakrie.
Berdasarkan pengumuman di Harian Kompas, keluarga Bakrie yang dipanggil adalah Indra Usmansyah Bakrie dan Nirwan Dermawan Bakrie.
Bersama dua keluarga Bakrie, Satgas BLBI memanggil Andrus Roestam Moenaf, Pinkan Warrouw, dan Anton Setianto. Satgas akan menagih utang kepada mereka dengan total hingga Rp 22,6 miliar dalam penyelesaian kewajiban debitor eks Bank Putera Multikarsas.
Sementara di pengumuman lain, satgas memanggil pula beberapa debitur yakni Thee Ning Khong, The Kwen Le, Harry Lasmono Hartawan, Koswara, Haji Sumedi, Fuad Djapar, Eddy Heryanto Kwanto, dan Mohammad Toyib.
Masing-masing utang yang ditagih sebesar Rp 90,66 miliar atas nama The Ning Khong, utang Rp 63,23 miliar atas nama The Kwen Le, dan utang Rp 86,34 miliar atas nama PT Jakarta Kyoei Steel Works Tbk.
Lalu, utang Rp 69,08 miliar atas nama PT Jakarta Steel Megah Utama, dan utang Rp 69,33 miliar atas nama debitur eks Bank Global Internasional atas nama PT Jakarta Steel Perdana Industry.
Taipan Sujanto Gondokusumo turut masuk dalam pusaran dana BLBI. Besaran utang yang ditagih kepada Sujanto adalah Rp 904,4 miliar atas PKPS Bank Dharmala.
Kehadiran Sujanto diwakili oleh kuasa hukum, Jamaslin James Purba, karena masalah kesehatan. Berdasarkan keterangan medis yang dihinggakan kuasa hukum, Suyanto mengidap depresi berat dan lupa ingatan.
Lewat pengacaranya pula Sujanto membentah menjadi pemegang saham Bank Dharmala, yakni salah satu bank yang menerima dana BLBI.
"Menurut informasi klien kami, pemegang saham Bank Dharmala saat itu adalah PT Dharmala Sakti Sejahtera (DSS) bukan klien kami. Sedangkan pemegang Saham DSS adalah Dharmala Intiutama (DIU)," kata Kuasa Hukum Suyanto, Jamaslin James Purba dalam keterangannya, Sabtu (9/10/2021).
Kemudian teranyar, satgas memanggul owner Grup Texmaco, Marimutu Sinivasan. Marimutu memang menghadiri undangan satgas, akan tetapi asetnya tetap disita satgas pada Kamis (23/12/2021).
Pemanggilan obligor/debitor oleh satgas terus berlanjut hingga hari ini.
Sita aset: tanah, bangunan, hingga tabungan
Selama pemanggilan berlangsung, Satgas BLBI juga mulai bergerak menyita aset obligor/debitor untuk memulihkan sebagian utang-utangnya.
Aset pertama yang disita satgas terjadi pada Jumat (27/8/2021). Negara menyita 49 bidang tanah eks BLBI dengan luasan hingga 5,29 juta m² atau 5.291.200 m². Empat bidang tanah tersebut terletak di Medan, Pekanbaru, Bogor, dan Karawaci, Tangerang.
Pemerintah juga menyita aset properti yang berada di lingkungan Lippo Karawaci dengan luasan sekitar 25 hektar.
Satgas BLBI pada Kamis (9/9/2021), kemudian menyita aset tanah seluas 26.928 meter persegi yang terletak di jalan KH Mas Mansyur, Karet Tengsin, Jakarta Pusat.
Aset tersebut tercatat sebagai aset eks-BPPN yang berasal dari Barang Jaminan Diambil Alih (BJDA) debitur atas nama Sinar Bonana Jaya (PT SBJ) Bank Yakin Makmur berdasarkan akta pelepasan hak atas tanah (APHAT) Nomor 31 tanggal 13 November 1997.
Bank Yakin Makmur alias Bank Yama adalah eks debitur BLBI. Bank ini disebut-sebut milik Tutut Soeharto.
Pada Oktober 2021, satgas berhasil menguasai aset kredit senilai Rp 2,4 miliar dan 7,6 juta dollar AS. Satgas BLBI juga melakukan pemblokiran tanah sejumlah 339 aset jaminan, serta pemblokiran saham pada 24 perusahaan.
Kemudian, satgas sudah memblokir 59 sertifikat tanah di berbagai daerah, dan balik nama menjadi atas nama pemerintah terhadap 335 sertifikat, dan perpanjangan hak pemerintah kepada 543 sertifikat yang tersebar di 19 provinsi.
Aset-aset tersebut telah diberikan kepada 7 kementerian/lembaga melalui penetapan penggunaan aset (PSP) yaitu BNN, BNPT, Polri, Kementerian Agama, Kementerian Pertahanan, Kementerian Keuangan, dan BPS. Nilai seluruhnya hingga Rp 791,17 miliar.
Selain itu, Satgas BLBI melakukan penguasaan secara fisik atas 97 bidang tanah seluas 5,32 juta meter persegi. Tanah tersebut tersebar di Jakarta, Medan, Pekanbaru, Tangerang, dan Bogor.
Cairkan dana milik Kaharudin Ongko
Lalu pada September 2021, pemerintah menyita dan mencairkan sebagian dana milik Kaharudin Ongko. Tak tanggung, jumlah yang berhasil dicairkan senilai Rp 110,17 miliar.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, dana yang berasal dari pencairan escrow account itu masuk ke kas negara sejak kemarin sore, Senin (20/9/2021).
Terdapat 2 escrow account milik Ongko yang dicairkan negara, yakni escrow account di salah satu bank swasta nasional dengan jumlah Rp 664.974.593 dan escrow account dalam bentuk dollar AS senilai 7,63 dollar AS atau 7.637.605 dollar AS.
Jumlah uang tersebut setara dengan Rp 109,5 miliar. Dengan begitu, total uang yang sudah masuk kas negara hingga Rp 110,17 miliar.
Namun jika dibandingkan dengan utang Kaharudin yang senilai Rp 8,2 triliun, angka tersebut masih terlampau kecil. Karena sangat kecil, PUPN melakukan upaya paksa terhadap debitur melalui surat paksa dan pencegahan bepergian ke luar negeri.
Pembayaran utang melalui pencairan escrow account pun merupakan salah satu upaya yang berhasil ditempuh usai terbentuknya satgas.
Sita aset Tommy Soeharto
Pada awal November 2021, publik kembali dikejutkan dengan penyitaan aset tanah dan bangunan milik Tommy Soeharto oleh Satgas BLBI. Penyitaan dilakukan usai satgas melakukan upaya penagihan terhadap kewajiban PT TPN. Penagihan PT TPN berasal dari kredit beberapa bank.
Outstanding nilai utang PT TPN kepada pemerintah yang ditagihkan oleh PUPN setelah ditambah biaya administrasi pengurusan piutang negara sebesar 10 persen adalah Rp 2,61 triliun. Besaran utang sesuai dengan PJPN-375/PUPNC.10.05/2009 tanggal 24 Juni 2009.
Aset Tommy Soeharto yang disita satgas terbagi atas 4 bidang tanah yang berlokasi di kawasan industri Mandala Putra, Dawuan, Cikampek, Karawang, Jawa Barat. Nilai aset tanah tersebut sekitar Rp 600 miliar.
Berikut ini aset-aset Tommy Soeharto yang disita Satgas BLBI.
1. Tanah seluas 530.125,526 meter persegi terletak di Desa Kamojing, Kabupaten Karawang sebagaimana SHGB Nomor 4/Kamojing atas nama PT KIA Timor Motors.
2. Tanah seluas 98.896,700 meter persegi terletak di Desa Kalihurip, Kabupaten Karawang sebagaimana SHGB Nomor 22/Kalihurip atas nama PT KIA Timor Motors.
3. Tanah seluas 100.985,15 meter persegi terletak di Desa Cikampek Pusaka, Kabupaten Karawang sebagaimana SHGB Nomor 5/ Cikampek Pusaka atas nama PT KIA Timor Motors.
4. Tanah seluas 518.870 meter persegi terletak di Desa Kamojing, Kabupaten Karawang sebagaimana SHGB Nomor 3/ Kamojing atas nama PT Timor Industri Komponen.
Menariknya meski aset disita, Tommy masih lengang wara-wiri dan berbisnis dengan para pengusaha. Di tengah kabar pelelangan aset tahun depan, Tommy justru membangun rest area hingga lapangan golf.
Tommy bahkan menantang pemerintah dan menyatakan akan menempuh jalur hukum atas penyitaan aset PT TPN.
"Akan mengambil langkah hukum," kata Tommy singkat sembari memasuki mobil usai meresmikan rest area, Rabu (10/11/2021).
Sita aset Grup Texmaco
Teranyar, pemerintah kembali menyita aset Grup Texmaco, yakni salah satu debitor yang paling dikejar Satgas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Grup ini memiliki utang dengan nilai besar, yakni Rp 29 triliun dan 80,57 juta dollar AS atas tunggakan Letter of Credit (L/C) yang diterbitkan pemerintah melalui Bank Negara Indonesia (BNI) untuk mendukung usaha tekstilnya.
Drama penagihan juga terjadi dalam kasus Grup Texmaco. Pemiliknya, Marimutu Sinivasan mengaku tidak pernah memiliki utang BLBI. Penjelasan Direktorat Hukum Bank Indonesia melalui Surat No. 9/67/DHk, tanggal 19 Februari 2007 menjadi dasar pernyataannya
Alih-alih dana BLBI, bank masih memiliki kewajiban utang yang perlu diselesaikan, yakni berupa pinjaman Subordinasi (SOL) dan KLBI kredit program sebesar Rp 160.210.231.825,45 posisi per 31 Desember 2003.
Lalu, Marimutu pun mengaku hanya memiliki utang sebesar Rp 8,095 triliun atau setara dengan 558,3 juta dollar AS, meski bukan dana BLBI. Dia mengaku sudah berkali-kali menulis surat selama 20 tahun terakhir untuk beraudiensi dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) untuk melunasi utangnya.
Pernyataan Marimutu kemudian dibantah oleh Sang Menteri Keuangan, Sri Mulyani. Kata wanita yang karib disapa Ani ini, pemerintah sudah berulang kali memberikan kesempatan.
Sayangnya, tidak ada pembayaran utang yang terealisasi meski Texmaco sudah berulang kali mengaku akan membayar utang-utangnya. Geram, Satgas BLBI akhirnya menyita aset Texmaco.
Tanah yang disita sebanyak 587 bidang tanah seluas 4.794.202 meter persegi. Tanah tersebut terletak di 5 daerah, yaitu Kabupaten Subang, Kabupaten Sukabumi, Kota Pekalongan, Kota Batu, dan Kota Padang. Berikut ini rinciannya:
a. Kelurahan Kadawung (Kecamatan Cipeundeuy), Kelurahan Siluman (Kecamatan Pabuaran), dan Kelurahan Karangmukti (Kecamatan Cipeundeuy), Kabupaten Subang, Jawa Barat sejumlah 519 bidang tanah seluas 3.333.771 m2 .
b. Kelurahan Loji, Kecamatan Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat sejumlah 54 bidang tanah seluas 1.248.885 m2.
c. Kelurahan Bendan, Sapuro, dan Krapyak Kidul, Kecamatan Pekalongan Barat dan Pekalongan Timur, Kota Pekalongan, Jawa Tengah sejumlah 3 bidang tanah seluas 2.956 m2.
d. Kelurahan Pesanggrahan, Kecamatan Batu, Kota Batu, Jawa Timur sejumlah 10 bidang tanah seluas 83.230 m2.
e. Kelurahan Lubuk Kilangan, Kota Padang, Sumatera Barat sejumlah 1 bidang tanah seluas 125.360 m2.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Aktifkan Notifikasimu
Aktifkan