Waduh! Kenaikan Tarif PNBP Perikanan, untuk Siapa?
Kenaikan tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) perikanan tangkap memicu penolakan nelayan dari berbagai daerah.
Kenaikan tarif PNBP termaktub dalam PP Nomor 85 Tahun 2021 yang merupakan aturan turunan dari UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Aturan baru itu mengganti beleid sebelumnya, yakni PP Nomor 75 Tahun 2015 pada masa kepemimpinan Susi Pudjiastuti. Kala itu, tarif PNBP juga naik dari sebelumnya sebesar 1 persen yang tercantum dalam PP Nomor 19 Tahun 2006. Untuk kapal 30-60 GT misalnya, tarifnya menjadi 5 persen.
Aliansi Nelayan Indonesia (ANNI) menjadi salah satu pihak yang terang-terangan menolak kenaikan PNBP. Ketua DPP ANNI, Riyono menyebut, naiknya tarif PNBP di masa pandemi makin membuat nelayan terpuruk.
Kenaikan Tarif PNBP Perikanan, untuk Siapa?
Dia ingin Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tidak menarik PNBP kepada nelayan dengan ukuran kapal 5-10 gross ton (GT). Sebab menurut UU Nomor 7 Tahun 2016, nelayan tersebut masuk dalam kelompok nelayan kecil.
Mengacu lampiran beleid anyar, kapal skala kecil dengan ukuran 5-60 GT dikenakan tarif PNBP pra produksi sebesar 5 persen, kapal skala menengah dengan ukuran 60-1.000 GT dikenakan tarif 10 persen, dan kapal skala besar dengan ukuran lebih dari 1.000 GT dikenakan tarif 25 persen.
Sedangkan untuk PNBP pasca produksi, tarif PNBP untuk kapal kurang dari 60 GT sebesar 5 persen, dan tarif untuk kapal lebih dari 60 GT sebesar 10 persen.
Rumus besaran biaya yang perlu dikeluarkan nelayan untuk PNBP pra produksi adalah tarif PNBP × produktivitas kapal × Harga Patokan Ikan (HPI) x ukuran kapal (GT). Adapun rumus untuk PNBP pasca produksi adalah tarif PNBP x nilai produksi ikan pada saat didaratkan.
"Nelayan kecil enggak boleh ada tarikan PNBP. Batalin (tarif PNBP) yang 5 persen itu. Jadi (nelayan kecil dengan ukuran kapal) 5-10 GT jangan ditarik. Kalau mau ditarik yang 30 GT ke atas," ucap Riyono ketika dihubungi Kompas.com, Minggu (17/10/2021).
Sependapat, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mengungkapkan, skala nelayan kecil dengan nelayan besar tidak dapat disamaratakan, termasuk dalam hal penarikan PNBP.
Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menuturkan, penarikan PNBP harus menyasar nelayan besar dan pelaku industri perikanan dalam jumlah besar dengan alat tangkap yang besar.
Berdasarkan data KKP, ada sekitar 181.178 perahu motor tempel dan 175.451 kapal bermesin. Kedua jenis kapal ini banyak digunakan oleh nelayan skala besar yang menggunakan alat tangkap skala besar.
Kemudian, ada 190.923 kapal perahu tanpa mesin yang digunakan oleh nelayan kecil. Mereka biasanya menggunakan alat tangkap ramah lingkungan, sesuai jaring, pancing, dan alat tangkap lainnya.
"Nelayan skala kecil atau nelayan tradisional mesti dilayani dengan cara diberikan kemudahan berusaha dengan tidak dibebankan PNBP yang tidak mempersulit usaha perikanan mereka," sebut Susan.
Di sisi lain, masih banyak nelayan kecil yang belum memahami beleid terkini. Sekretaris Forum Peduli Pulau Pari (FPPP), Sulaiman mengungkapkan, nelayan di wilayahnya tidak tahu persis sesuai apa kenaikan tarif PNBP.
"Kalau asosiasi atau LSM di sini hanya ada kelompok-kelompok nelayan kecil. Soal paham saya rasa pasti banyak yang belum tau, apalagi hingga paham," ungkap Sulaiman.
Lantas, untuk siapa kenaikan tarif PNBP?
Dihubungi terpisah, Juru Bicara KKP, Wahyu Muryadi menegaskan, pemungutan PNBP dilakukan untuk menciptakan keadilan bagi para nelayan. Bahkan dalam aturan baru, KKP menambah klausul PNBP pasca produksi yang hanya menyasar nelayan besar dengan ukuran kapal di atas 30 GT.
Sedangkan nelayan kecil/tradisional dengan ukuran kapal 5 GT tidak akan dipungut PNBP. Aturan serupa berlaku untuk nelayan dengan ukuran kapal hingga 30 GT karena sudah dipungut retribusi daerah oleh Pemda.
Adapun kapal 30 GT ke atas menjadi objek PNBP lantaran pengurusan izin diatur langsung dari pusat. Pemungutan PNBP pasca produksi ini dilakukan secara bertahap hingga semua pelabuhan perikanan siap di tahun 2023 akan datang.
Besaran tarif PNBP skema pasca produksi untuk kapal ikan 30-60 GT adalah 5 persen. Sementara kapal ikan dengan ukuran 60-1.000 GT dikenakan tarif sebesar 10 persen.
"Skema paska produksi ini kami anggap paling adil dan wajar," beber Wahyu.
Wahyu menjelaskan, keadilan tercipta lantaran pungutan PNBP hanya berkisar 5-10 persen. Pemilik kapal tidak perlu membayar pungutan lain, sesuai proses perizinan kapal dan perpanjangan izin yang biasanya hingga Rp 200-400 juta per kapal.
Hal ini kata Wahyu, sebagai amanat Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono yang menyatakan tidak boleh ada pungutan lain di luar PNBP. Pungutan memberatkan yang sejatinya ditarik oleh oknum tak bertanggungjawab mesti dihapus.
Kendati begitu, kapal dengan ukuran lebih dari 5 GT dapat juga dikenai tarif jika owner kapal/nelayan mengajukan izin untuk melaut di jalur III atau wilayah 12 mil dari garis pantai. Sebab, hasil tangkapan di wilayah ini berisi ikan kelas premium termasuk tuna beragam jenis.
"Kekayaan alam negara berupa ikan melimpah dan ditangkap, tapi hanya dipungut sangat kecil padahal negara sangat membutuhkan pemasukan non pajak ini. Untuk dikembalikan bagi kesejahteraan nelayan, bantuan alat tangkap, perbaikan pelabuhan perikanan di bawah KKP yang masih jauh dari kondisi ideal," jelas Wahyu.
Di sisi lain Wahyu mengakui, sosialisasi terhadap aturan baru belum maksimal dan belum menyasar pada nelayan kecil yang jumlahnya berkisar 2,3 juta orang.
Namun seiring penerapan PNBP pasca produksi secara bertahap hingga tahun 2023, pihaknya berjanji akan memperbaiki pola komunikasi dengan semua pemangku kepentingan.
Adapun keinginan Trenggono untuk menarik PNBP sudah mencuat sejak dilantik menjadi Menteri pada tahun 2020. Keinginan itu sempat dia utarakan dalam Rapat Kerja bersama Komisi IV DPR RI pada 28 Januari 2021.
Saat ini dia berencana menaikkan PNBP dari Rp 600 miliar menjadi Rp 12 triliun. Pikirnya sederhana, penarikan PNBP di sektor bahari dapat sangat besar mengingat produksi ikan hingga Rp 224 triliun.
Bagaimana pun, semua sumber daya alam ditarik pajaknya oleh pemerintah, sesuai minyak atau hasil tambang. Izin-izin kapal yang memakan biaya banyak justru akan dihapus untuk memaksimalkan penarikan PNBP satu kali.
Trenggono lantas mengusulkan Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Muhammad Zaini untuk memasangkan IoT pada setiap kapal. Tujuannya agar kapal-kapal tersebut dapat dideteksi kapan melaut dan kapan menangkap ikan.
Saat pungutan ditarik, mereka tidak lagi memiliki ungkapan untuk tidak membayar PNBP karena kapal tidak menangkap ikan, karena produksinya dapat dimonitor dengan baik.
"Bagaimana kalau kita izin kapalnya dibebasin saja? Teknologi sekarang sudah masif, pasang saja IoT di situ, pasti ketahuan dia melaut dan nangkap atau tidak. Dia mau jual (kapalnya) ke transhipment, enggak masalah. Kita klaim saja ownernya, kamu harus bayar 100 persen. Kita dapat monitor produksinya dia," papar Trenggono.
Kembali ke nelayan
Asisten Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Bidang Media dan Komunikasi Publik, Doni Ismanto menambahkan, penarikan PNBP yang dilakukan sudah ada dasar hukum, yakni UU Cipta Kerja.
PNBP dikenakan karena ada sumber daya alam yang dimanfaatkan. Negara kata Doni, memiliki hak terhadap sumber daya ikan di wilayahnya.
Lagi pula, PNBP perikanan tangkap yang dikumpulkan KKP hingga kini masih sangat minim, hanya Rp 600 miliar pada tahun 2020. Capaian ini tak berbanding lurus dengan produksi dan penangkapan ikan yang hingga hasil maksimal hingga Rp 220 triliun.
Wajar saja kontribusi PNBP perikanan hanya 0,2 persen dari total PNBP keseluruhan. Dia pun menyatakan, PNBP yang dikenakan akan kembali kepada nelayan dan ekosistem kelautan.
"PNBP kalau dapat buat siapa? Nanti baliknya ke ekosistem perikanan tangkap juga. Untuk bangun pelabuhan, kasih ke nelayan, dan lain-lain," ucap Doni.
Sesditjen Perikanan Tangkap (DJPT) KKP, Trian Yunanda menjelaskan, Penolakan tarif PNBP juga sempat terjadi pada tahun 2015, saat PP Nomor 75 Tahun 2015 di masa Susi Pudjiastuti terbit.
Saat itu, tarif PNBP menang naik signifikan dibagi menjadi 3 klaster. Untuk kapal perikanan ukuran 30-60 GT misalnya, tarifnya menjadi 5 persen dari 1 persen.
Setelah penolakan, terjadi judicial review oleh semua stakeholder hingga akhirnya PP tetap berjalan di tahun 2016 hingga 18 September 2021 sebelum beleid baru muncul lagi.
Memang, perhitungan tarif PNBP dilakukan lintas kementerian bersama Kementerian Keuangan. Kemenkeu mengatur besaran tarif, sementara HPI dan produktivitas kapal ikan berdasarkan perhitungan KKP.
"Jadi (PP 75/2015 berlaku) sudah hampir 5 tahun, artinya memang ada tarif naik yang jadi permasalahan, karena tarif ini bukan kewenangan KKP, tapi ada Kemenkeu. Setelah itu tidak ada penolakan dengan kenaikan tarif itu," ucap Trian.
Sejatinya saat membahas beleid baru, KKP sempat mengusulkan penurunan besaran tarif PNBP. Namun karena tidak ada penolakan tarif sejak 2016 tersebut, Kemenkeu menganggap semua pihak sudah setuju soal itu.
"Kami kesulitan, Kementerian Keuangan merasa tidak ada penolakan," ungkap Trian.
Harga Patokan Ikan
KKP lantas mengatur Harga Patokan Ikan (HPI) terkini yang menjadi salah satu rumusan besaran tarif PNBP pra produksi. Mekanisme penyesuaian HPI tercantum dalam dua Keputusan Menteri, yakni Keputusan Menteri KP Nomor 86 Tahun 2021 dan Keputusan Menteri KP Nomor 87 Tahun 2021.
HPI menjadi salah satu yang dipermasalahkan nelayan karena harga ikan di tiap daerah berbeda-beda. Namun kata Trian, KKP tidak mungkin memanipulasi HPI dan produktivitas kapal ikan karena diawasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Penyesuaian harga patokan ikan semata-mata terjadi karena harga patokan sebelumnya sudah tak relevan. Asal tahu saja, pemerintah sebelumnya masih menggunakan HPI basis data tahun 2010 yang diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 13 Tahun 2011.
Bahkan harga patokan ikan yang tidak relevan ini sempat menjadi temuan BPK, kemudian membuat kementerian tidak memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).
"Kita memang pernah mengusulkan pada masa 10 tahun hingga tahun 2014 (kepada Kementerian Perdagangan), kemudian tidak ada lagi pengusulan hingga kewenangan (pengaturan HPI) berpindah ke KKP," tutur dia.
Penentuan HPI oleh KKP didasarkan oleh data harga ikan selama 2 tahun terakhir dari tahun 2019-2020 di 124 pelabuhan perikanan. Data tersebut kemudian dibandingkan dengan data harga ikan tahun 2021. Formula ini menjadi rekomendasi badan riset KKP.
Untuk merumuskan HPI, KKP telah mempertimbangkan perbedaan harga ikan antar wilayah, antar musim, dan antar mutu ikan. Dengan begitu, HPI yang tercantum dalam Kepmen KP Nomor 86 Tahun 2021 adalah HPI rata-rata nasional.
Namun demikian, pihaknya tetap melakukan peninjauan ulang penentuan HPI untuk menyerap aspirasi nelayan lewat diskusi publik yang terselenggara pada Jumat (15/10/2021).
"HPI yang ditetapkan sudah harga yang sewajarnya akan tetapi kita terima aspirasi. Berapa harga yang pantas kemudian kita konsultasikan harganya," pungkas Trian.
Ketua II Asosiasi Tuna Longline Indonesia, Dwi Agus Siswaputra menyambut baik adanya diskusi publik yang kembali digelar KKP. Menurut dia, diskusi semacam ini memang penting untuk menyerap aspirasi nelayan.
Dia pun mengungkapkan akan menerima hasil pertimbangan yang sudah melalui proses diskusi. Pun meyakini, penarikan PNBP pasca produksi dapat menyejahterakan sektor kelautan dan perikanan.
"Apapun hasilnya kami dari Asosiasi Tuna Longline siap menjalankan apapun bentuknya. Karena jujur saja, kami tidak mau mengikat kapal terlalu lama. Kalau pasca produksi ini sangat disetujui sekali karena betul-betul mencerminkan berapa ditangkap, segitu kita bayar kepada negara," tutup Agus.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Aktifkan Notifikasimu
Aktifkan